Lelaki di Titik Nol
Judul : Rojulun Tahta Ash-Shifr
Pengarang : Mustafa Mahmud
Penerbit : NAVILA Jl. Taman Siswa No. 97 Yogyakarta.
Cetakan Ke : Ke-I, Desember 2000 Ke-II, Juli 2001
Tebal Buku : 150 Halaman
Penerjemah : Ulin Nuha dan Nursangadah
Editor : La Orde Arham
Judul : Rojulun Tahta Ash-Shifr
Pengarang : Mustafa Mahmud
Penerbit : NAVILA Jl. Taman Siswa No. 97 Yogyakarta.
Cetakan Ke : Ke-I, Desember 2000 Ke-II, Juli 2001
Tebal Buku : 150 Halaman
Penerjemah : Ulin Nuha dan Nursangadah
Editor : La Orde Arham
Desain Cover : Ijonk
Untuk pertama kalinya mahasiswa Sorbon menyadari bahwa ilmu yang di perolehnya tidak jauh berbeda dengan ilmu para mahasiswa Zanzy Al-Bida’i untuk pertama kalinya Amerika menyadari bahwa mereka tidak lebih kaya dari Rusia. Rusiapun tidak lebih canggih dari China. Penjajah juga mengakui bahwa mereka tidak berhak atas negara jajahannya. Umat Nasranipun menyadari bahwa surga tidak dianugrahkan khusus untuk mereka. Para hakim menyadari bahwa mereka bukanlah orang yang selalu adil dalam menegakkan keadilan ketimbang terdakwa.
Hingga menjelang akhir Januari 2003 ilmuwan India (Rojmanon) telah menemukan langkah awal yang menakjubkan. Beliau menaruh virus yang mematikan ini dalam ular untuk mencegah perkembangbiakannya.
Tahun 2061, manusia berusaha melangkah dengan segala kemampuannya. Menurut Ilmuwan Alam Indonesia, Timawa dapat mencegah neutron yaitu merubah inti atom menjadi atom terkecil dan menemukan misteri-misteri yang ada didalamnya. Energi atom yang dihasilkan begitu besar dengan perkiraan bahwa daerah tempat percobaan tersebut dapat hancur oleh jumlahmateri atom, yang menurutpenelitian beliau, Timawa lebih kecil dari kepala peniti. Ini berarti secara sederhana separuh bulatan aspirin, jika mengandung muatan neutron yang sempurna dapat membelah bumi menjadi dua seperti kita membelah jeruk atau bahkan kita memilah-milahnya menjadi beberapa potongan kecil yang berserakan diatas cakrawala. “Sebenarnya kita telah berfikir tentang semua atom dan kita telah mempelajari karateristik setiap atom, kecuali sebuah atom yang paling penting sekali.” Jelas Rosita.Dari dialog itu kita bisa melihat bagaimana peran dan posisi manusia dalam alam semesta. Meskipun ilu pengetahuan manusia sudah sedemikian jauh, namun toh ada misteri yang tidak mampu dipecahkan oleh manusia modern, seperti misteri cinta. Filsafat materialisme barat (Yunani) meletakkan ukuran benar dan salah pada fakta-fakta empiris. Empirisme ini cenderung mengabaikan hal yang tidak nyata (ghoiru maujud), dan segala sesuatu harus dapat dibuktikan dengan nalar. Sesuatu yang tidak nalar, tidak rasional, tidak dapat diyakini kebenarannya, dan tidak dapat dijadikan dasar dari kebenaran ilmiah. Manusia modern mengidentikkan diri dengan rasionalitas. Kebenaran baru bisa disebut benar jika dapat dikaji secara ilmiah, dan dapat dibuktikan secara rasional. Dan jika tidak dapat dikaji serta dibuktikan secara ilmiah-rasional, maka disebut primitif. Karena iti manusia modern didefinisikan sebagai manusia pembuatan dan tingkah lakunya selalu berdasar norma-norma kebenaran ilmiah. Sedang manusia primitif diidentifikasikan sebagai manusia yang berbuat dan bertindak berdasarkan perasaan , tidak ilmiah, tidak rasional. Namun apakah sesederhana itu persoalannya? Bukankah kita tahu Tuhan, malaikat, jin, setan, dan perasaan jiwa (hati) juga tidak tampak? Bukankah perasaan kasih, sayang,cinta, rindu, benci, sedih, semuanya itu juga tidak rasional? Tidak bisa dibuktikan secara ilmiah? Meskipun demikian kita semua dapat merasakan kehadirannya, melihat akibat yang ditimbulkan dari kehadiran sesuatu yang tidak “empiris” itu?Ternyata definisi manusiamodern yang serba rasional itu gamang, ketika disodorkan teori “Atom Cinta”. Tidak ilmiah, irrasional, namun toh ada dan diyakini keberadaannya.
Meskipun banyak orang mencoba menafsirkan dan mengkaji perasaan tersebut secara ilmiah, seperti Dr. Syahin yang menjadikan bulan madu sebagai kerja spesial dalam bidang kemagnetan dan kelistrikan, namun toh misteri cinta tidak mampu dijawab.Dalam kisah ini disebutkan, Dr. Syahin melewatkan bulan madunya di laboratorium. Dan dengan cerdik penulis mempertentangkan dua pandangan yang berbeda (rasionaldan irrasional) antara dua manusiamodern. Rosita mengatakan bahwa sekitar tubuh Dr. Syahin merupakan bidang magnet yang menarik dirinya, hingga dirinya berputar ditempat edar, dan bahwainti elektron yang merayap dalam jiwa tak akan dapat merasakan getaran kecuali setelah bidang tarik itu menggambarkan luapan cinta magnetik yang ada. Dan tentu saja pembaca dapat menebak kemana arah dan maksud pembicaraan Rosita, kekasih sekaligus istri Dr. Syahin itu.Lalu pada bagian lain penulis mencemooh sikap yang terlalu mendewa-dewakan rasionalitas itu dengan bahasa yang menarik, pemandangan yangada didepan mata kita saat ini benar-benar pemandangan yang langka. Dr. Syahin mencium Rosita dengan keras seraya menyentuh dan meraba-raba jantung Rosita, hingga tersibak tirai relung-relung jiwa, menembus kedalamnya sampai kedasarnya, kemudian terhanyut dalam nafsu birahi, dengan jurus-jurus pendekatan seorang ahli listrik dan magneter setelah merangsang Rosita dengan ciuman.
Hingga menjelang akhir Januari 2003 ilmuwan India (Rojmanon) telah menemukan langkah awal yang menakjubkan. Beliau menaruh virus yang mematikan ini dalam ular untuk mencegah perkembangbiakannya.
Tahun 2061, manusia berusaha melangkah dengan segala kemampuannya. Menurut Ilmuwan Alam Indonesia, Timawa dapat mencegah neutron yaitu merubah inti atom menjadi atom terkecil dan menemukan misteri-misteri yang ada didalamnya. Energi atom yang dihasilkan begitu besar dengan perkiraan bahwa daerah tempat percobaan tersebut dapat hancur oleh jumlahmateri atom, yang menurutpenelitian beliau, Timawa lebih kecil dari kepala peniti. Ini berarti secara sederhana separuh bulatan aspirin, jika mengandung muatan neutron yang sempurna dapat membelah bumi menjadi dua seperti kita membelah jeruk atau bahkan kita memilah-milahnya menjadi beberapa potongan kecil yang berserakan diatas cakrawala. “Sebenarnya kita telah berfikir tentang semua atom dan kita telah mempelajari karateristik setiap atom, kecuali sebuah atom yang paling penting sekali.” Jelas Rosita.Dari dialog itu kita bisa melihat bagaimana peran dan posisi manusia dalam alam semesta. Meskipun ilu pengetahuan manusia sudah sedemikian jauh, namun toh ada misteri yang tidak mampu dipecahkan oleh manusia modern, seperti misteri cinta. Filsafat materialisme barat (Yunani) meletakkan ukuran benar dan salah pada fakta-fakta empiris. Empirisme ini cenderung mengabaikan hal yang tidak nyata (ghoiru maujud), dan segala sesuatu harus dapat dibuktikan dengan nalar. Sesuatu yang tidak nalar, tidak rasional, tidak dapat diyakini kebenarannya, dan tidak dapat dijadikan dasar dari kebenaran ilmiah. Manusia modern mengidentikkan diri dengan rasionalitas. Kebenaran baru bisa disebut benar jika dapat dikaji secara ilmiah, dan dapat dibuktikan secara rasional. Dan jika tidak dapat dikaji serta dibuktikan secara ilmiah-rasional, maka disebut primitif. Karena iti manusia modern didefinisikan sebagai manusia pembuatan dan tingkah lakunya selalu berdasar norma-norma kebenaran ilmiah. Sedang manusia primitif diidentifikasikan sebagai manusia yang berbuat dan bertindak berdasarkan perasaan , tidak ilmiah, tidak rasional. Namun apakah sesederhana itu persoalannya? Bukankah kita tahu Tuhan, malaikat, jin, setan, dan perasaan jiwa (hati) juga tidak tampak? Bukankah perasaan kasih, sayang,cinta, rindu, benci, sedih, semuanya itu juga tidak rasional? Tidak bisa dibuktikan secara ilmiah? Meskipun demikian kita semua dapat merasakan kehadirannya, melihat akibat yang ditimbulkan dari kehadiran sesuatu yang tidak “empiris” itu?Ternyata definisi manusiamodern yang serba rasional itu gamang, ketika disodorkan teori “Atom Cinta”. Tidak ilmiah, irrasional, namun toh ada dan diyakini keberadaannya.
Meskipun banyak orang mencoba menafsirkan dan mengkaji perasaan tersebut secara ilmiah, seperti Dr. Syahin yang menjadikan bulan madu sebagai kerja spesial dalam bidang kemagnetan dan kelistrikan, namun toh misteri cinta tidak mampu dijawab.Dalam kisah ini disebutkan, Dr. Syahin melewatkan bulan madunya di laboratorium. Dan dengan cerdik penulis mempertentangkan dua pandangan yang berbeda (rasionaldan irrasional) antara dua manusiamodern. Rosita mengatakan bahwa sekitar tubuh Dr. Syahin merupakan bidang magnet yang menarik dirinya, hingga dirinya berputar ditempat edar, dan bahwainti elektron yang merayap dalam jiwa tak akan dapat merasakan getaran kecuali setelah bidang tarik itu menggambarkan luapan cinta magnetik yang ada. Dan tentu saja pembaca dapat menebak kemana arah dan maksud pembicaraan Rosita, kekasih sekaligus istri Dr. Syahin itu.Lalu pada bagian lain penulis mencemooh sikap yang terlalu mendewa-dewakan rasionalitas itu dengan bahasa yang menarik, pemandangan yangada didepan mata kita saat ini benar-benar pemandangan yang langka. Dr. Syahin mencium Rosita dengan keras seraya menyentuh dan meraba-raba jantung Rosita, hingga tersibak tirai relung-relung jiwa, menembus kedalamnya sampai kedasarnya, kemudian terhanyut dalam nafsu birahi, dengan jurus-jurus pendekatan seorang ahli listrik dan magneter setelah merangsang Rosita dengan ciuman.
Walau novel ini banyak menggunakan istilah-istilah ilmu pengetahuan, namun karena gaya bahasa yang mengalir dari penulisnya, membuat pembaca yang mungkin asing dengan dunia “pengembaraan intelektual” itu tidak akan merasa kesulitan untuk mengikuti alur cerita ini. Penulis, Mustafa Mahmud juga tidak ingin menggurui kita dengan mencoba menerangkan maksud cerita. Ia membiarkan pembaca mencari sendiri tema dan ide cerita. Buku yang diterbitkan oleh NAVILA ini disusun secara baik dengan penempatan kata-kata mutiara yang membuat esensi buku menjadi lebih menarik, dan cocok dibaca oleh anak-anak remaja karena terdapat kata-kata ilmiah yeng dapat menambah wawasan pengetahuan.Terlepas dari itu semua, dalam buku ini terdapat kata-kata yang kurang dipahami bagi pembaca pemula, seperti “seorang pemikir paham materialisme” (hal 9), “membisu seribu bahasa, iaberusaha berfikir obyektif, netral,jernih tanpa prasangka, praduga, syakwa, dan tendensi” (hal 92). Alangkah baiknya penulis menggunakan kata yang tidak asing didengar oleh telinga pembaca. Meskipun demikian, kekurangan yang sedikit tersebut tidak mengurangi esensi dari buku ini.
Semoga bermanfaat. Selamat membaca :-)